
” Hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang meninggalkan dibelakang mereka generasi yang lemah, dimana mereka khawatir akan kesejahteraan mereka (masa depan mereka). Oleh karena itu, hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar “. (QS An-Nisa ayat 9)
Dalam ayat diatas apabila kita simak secara mendalam baik secara eksplisit maupun implisit, Allah memberikan pemahaman kepada kita betapa kita harus waspada dan mewaspadai mengenai citra generasi masa depan. Terutama dalam konteks mempersiapkan mereka untuk menyongsong hari esoknya. Hal ini dikarenakan,merekalah yang akan melanjutkan estafet kehidupan pada masa yang akan datang. Dengan harapan, agar mereka dapat menjadi generasi yang hidup dan berkembang sesuai dengan zamannya serta mampu merumuskan dan menjawab persoalannya sendiri secara kreatif dan mandiri.
Generasi masa depan dalam terminologi Ilmu Psikologi Perkembangan Jiwa dikenal dengan istilah REMAJA. Dipundak merekalah diletakkan kata kunci baik dan buruk serta hancur dan tidaknya peradaban masa depan. Hal ini memberikan pengertian bahwa upaya untuk menyiapkan serta meniti pembinaan kepada mereka mutlak harus dilakukan dengan serius dan berkesinambungan.
Bukan sebuah kemustahilan serta cerita kosong tanpa makna, apabila manusia sekapasitas Nabi Zakariah, didalam Al-quran disebutkan sedemikian khawatirnya akan sepeninggalan berliau. Dalam artian, siapa yang akan melanjutkan dan meneruskan penerang api kebenaran sesudah beliau wafat. Dengan berlinang air mata beliau berdoa kepada Allah agar dikaruniai generasi masa depan yang mampu menjawab problematika kehidupannya serta mampu berkiprah sesuai dengan jamannya. Begitu pula yang dikhawatirkan oleh Nabi Ibrahim, Nabi Ya’qub, dan lainnya.
Kekhawatirkan terhadap nasib generasi masa depan sebenarnya cukup beralasan karena panah waktu begitu cepat bergulir, zaman terus bergerak dengan benturan-benturan yang tak tentu arahnya. Kita semakin tidak dapat membedakan mana budaya asli dan mana budaya asing, semua perilaku anak manusia mulai sarat dengan kepentingan-kepentingan baik secara terang-terangan maupun tersembunyi. Apabila fenomena ini tidak dicermati dan dicarikan solusi, maka sedikit demi sedikit umat Islam terutama generasi mudanya akan mengucapkan selamat tinggal kepada agama, “The Age of Discontinuity”, demikian yang dikemukakan oleh Peter F. Druke.
Sementara pertanyaan-pertanyaan mendasar bukan saja selalu membayangi tetapi juga menuntut secepatnya ada solusi cerdas dan kreatif, misalnya : Bagaimana warna generasi sesudah kita ? Siapa yang bertanggung jawab membentuk generasi ideal ? Siapa yang bertanggung jawab untuk meneruskan risalah kebenaran terutama risalah kebenaran yang ada didalam Al-Quran ? Rangkaian pertanyaan tersebut terasa mengetarkan kalbu, membangkitkan sukma dan selalu menggelisahkan pikiran kita semua.
Sebuah usaha untuk mempersiapkan generasi masa depan yang mempunyai kualifikasi moral dan intelektual bukanlah perkerjaan yang sederhana, ini adalah pekerjaan yang sulit karena menyangkut suatu rekayasa peradaban yang berdimensi imaterial, yang secara empiris sulit untuk dicerna. Bukti telah berbicara, walaupun lembaga-lembaga pendidikan telah banyak berdiri dan menjamur dimana-mana dengan ciri khas metode pembelajarannya masing-masing, tetapi bersamaan dengan itu pula masih terjadi sesuatu yang berada diluar perhitungan kita.
Dekadensi moral yang membawa kepada dehumanisasi (penurunan derajat dan kualitas kemanusiaan) yang lahir dalam bentuk pelanggaran-pelanggaran moral, kenakalan remaja, dan semakin seringnya terjadi tawuran antar pelajar, merupakan salah satu bentuk dekadensi moral yang dicemaskan oleh berbagai kalangan. Kondisi ini semakin diperparah oleh hadirnya –apa yang diistilahkan dengan– globalisasi dan informasi. Hal ini sebagai konsekuensi logis dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (tanpa harus menolak nilai-nilai positif dari hasil kemajuan IPTEK yang selama ini telah mendatangkan kemudahan-kemudahan dalam pemenuhan hidup manusia).
Namun dibalik semua kemajuan itu ada pula kecendrungan yang nampaknya telah keluar dari batas-batas kewajaran. Perubahan terhadap etika pergaulan telah bergeser pada titik yang paling kritis, sehingga dapat kita saksikan sendiri betapa kehidupan sekarang ini sudah kering dari nilai-nilai kebenaran, kejujuran dan kefitrahan yang seharusnya mendasari perilaku setiap manusia.
Dari realitas tersebut, maka amat wajar kalau muncul pertanyaan : Bagaimana dengan masa yang akan datang yang kepastiannya akan segera hadir ? Apa yang akan dihadapi oleh generasi sesudah kita dan bagaimana mereka menghadapinya ? Apakah kita pernah memperdulikan mereka dengan memberikan kontribusi dalam bentuk pemikiran positif atau malah hanya bisa menyalahkan mereka saja ?
Memperhatikan pertanyaan tersebut, tanpak semakin nyata bahwa persoalan untuk mempersiapkan generasi masa depan yang pasti akan diwakili anak-anak remaja yang juga adik-adik kita merupakan persoalan yang paling urgent. Itu bukanlah tanggung jawab siapa-siapa tetapi tanggung jawab kita bersama. Dimana pembinaan, pendidikan dan pengajaran yang sungguh-sungguh disertai dengan do`a adalah merupakan pilihan terbaik.
Untuk mereka (siapapun juga) yang pernah memiliki paradigma keliru tentang remaja, yang pernah mencoba mematahkan bahkan tanpa disadari sedang mencoba menghancurkan masa depan generasi muda dengan selalu menyalahkan mereka tanpa pernah sekalipun memberikan solusi konkrit, sudahilah cara-cara seperti itu. Arahkan mereka, rangkullah mereka, jangan jauhi mereka.
Untuk adik-adik remaja yang pernah nyaris tergelincir dijalan yang dipenuhi kerikil–kerikil tajam dan sekarang sedang berusaha berproses menuju kearah yang lebih baik, biarkanlah bila masih ada orang yang apriori, membenci, bahkan sekali-kali masih coba-coba memfitnah anda, janganlah semua itu membuat anda terus terpenjara oleh kesedihan, yakinlah Allah pasti akan tetap selalu mencintai anda. Tataplah masa depan dengan senyum manis dan indah. Percayalah, badai pasti akan berlalu. Wallahu A’lam.
*) Pengurus Yayasan Lembah Arafah Mulia
Leave a Comment
You must be logged in to post a comment.