REPUBLIKA – Jumat, 20 Oktober 2006


Tanpa terasa, tinggal beberapa hari lagi bulan suci Ramadhan 1427 Hijriyah berakhir. Sebagian umat Islam justru sibuk mempersiapkan kedatangan hari raya Iedul Fitri, ketimbang memburu maghfirah pada 10 malam terakhir Ramadhan.

Padahal, keberhasilan seorang Muslim melaksanakan ibadah puasa, bukan pada bagaimana cara dia merayakan Idul Fitri. “Belum tentu orang yang shalat Idul Fitri dia mencapai hasil puasa. Belum tentu orang yang kemudian selesai berpuasa dia mencapai hasil ibadah puasa,” ujar KH Anwar Sanusi, pimpinan Pondok Pesantren Arafah. Menurut dia, orang yang sungguh-sungguh telah berupaya mengamalkan nilai-nilai puasalah yang berhasil dalam ibadah sebulan penuh itu. “Keberhasilan orang-orang yang berpuasa bukan pada bulan Ramadhan tetapi setelah Idul Fitri,” ujarnya.

Berikut ini hasil petikan wawancara wartawan Republika, Damanhuri Zuhri dengan dai yang mengasuh beberapa acara siraman rohani di televisi ini:

Apa makna dan hikmah Idul Fitri?

Idul fitri, al ied artinya kian kembali, fitrah artinya kecenderungan manusia untuk selalu berbuat baik. Kalau kebaikan kecenderungannya kepada kebaikan. Fitrah itu lebih banyak diartikan dengan suci. Kenapa iedul fitri istilahnya padahal fitrah itu lebih kepada bayi. Ada empat pokok, pertama bayi itu tidak sombong. Jadi, kalau sebelum puasa orang itu punya sifat sombong, sesudah puasa sifat sombong itu tidak terminimalisasi, tipis kemungkinan puasanya diterima. Sampai ada hadis mengatakan la yadkhulul jannata mankana fi qalbihi mistqalazarratin min kibri..., artinya “tidak masuk surga orang-orang yang di dalam hatinya ada sifat sombong walapun sebesar biji sawi”. Sifat sombong itu menolak kebenaran. Jadi, kalau manusia sombong dinding kebenarannya akan terhalang. Dan ujung dari kesombongan itu selalu berakhir dengan kesengsaraan.

Kedua, ciri bayi tidak serakah. Jadi, kalau orang sebelum puasa mempunyai sifat serakah sesudah puasa serakahnya tidak berkurang. Itu tandanya puasanya tidak berujung dengan takwa. Itu yang menyebabkan kenapa para pejabat, puasa juga tapi korupsi jalan terus. Karena sifat itu tidak terlampaui. Kenapa orang masih menghalalkan korupsi, manipulasi? Ketiga, ciri bayi tidak pernah hasad, yaitu penyakit hati yang tidak senang kalau melihat orang mendapat rahmat Allah. Kenapa orang sesudah puasa juga punya penyakit itu? Karena itu tidak terlampaui. Padahal dalam Islam kalau ingin mendatangkan rahmat Allah kita harus bersyukur bukan hasad. Sifat ini sekarang sudah merajalela.

Kalau kita lihat sesama Muslim saling jatuh menjatuhkan. Pimpinan-pimpinan gerakan politik saling sikut, bukan saling menopang, saling menolong. Umat Islam dengan kekayannya dan bisnisnya juga saling menjatuhkan, saling fitnah, saling ribut. Mengapa itu terjadi semua? Karena sifat hasad-nya tidak terkendali. Kalau sudah serakah akidahnya sekalipun bisa dia jual.

Keempat, bayi ikhlas, mukhlisin, bersih seperti kaca bisa untuk bercermin orang lain. Kalau kita puasa, sebelum puasa tidak ikhlas ya puasa kita rusak. Jadi, puasa yang mencapai takwa itulah fitri. Yang mencapai derajat kembali kepada fitrah, puasa yang hatinya tidak sombong, tidak serakah, tidak hasad,dan selalu ikhlas. Bayangkan, kalau sampai orang-orang Indonesia, umat Islam yang berpuasa mencapai derajat itu Indonesia ini `surga`. Dan Allah menghendaki puasa manusia itu melahirkan manusia seperti itu, bukan hanya sekadar rutinitas, sahur, dan buka puasa ramai-ramai.

Ya. Inti dan hakiki puasa itu mencapai ketakwaan. Dan itu harus dicapai secara kolektif, fikih sosialnya masyarakat. Kalau sekarang orang ribut-ribut tentang fikih sosial kalau orang sudah bisa mengamalkan itu kerjaan fikih sosial selesai. Fikih sosial itu bisa teramalkan. Seperti, orang selalu shalat, puasa, haji, itu hanya saleh pribadi. Yang dituntun oleh agama bukan hanya saleh pribadi tapi saleh sosial. Tidak benar orang Islam shalat kalau setelah shalat melihat anak yatim tidak tersentuh. Tidak benar orang Islam shalat kalau melihat kemunkaran tidak tersentuh untuk memperbaiki. Begitu juga orang yang berpuasa, kalau sombongnya tidak berkurang, dengkinya jalan terus.

Apa yang harus dilakukan oleh seorang Muslim agar ibadah puasa Ramadhan yang dikerjakannya bisa mengantarkan kepada perilaku seperti itu, perilaku takwa?

Untuk mencapai derajat takwa, puasanya harus lillah dan fisabilillah, yaitu puasa untuk Allah dan di jalan Allah. Maka itu ibadah puasa itu sangat spesial dari ibadah lainnya, Allah yang memberikan pahalanya. Siapa yang bisa melihat orang itu puasa atau tidak yang tahu hanya dia dan Allah. Jadi, belum tentu orang yang shalat iedul firti dia mencapai hasil puasa. Belum tentu orang yang kemudian selesai berpuasa dia mencapai hasil ibadah puasa. Kecuali orang yang sungguh-sungguh telah berupaya mengamalkan nilai-nilai puasa. Justru keberhasilan orang-orang yang berpuasa bukan pada bulan Ramadhan tetapi setelah Idul Fitri.

Irma Susanti

Leave a Comment