Oleh : M. Quraish Shihab


Memahami  makna  ibadah  haji,  membutuhkan  pemahaman  secara khusus    sejarah   Nabi   Ibrahim   dan   ajarannya,   karena praktek-praktek   ritual   ibadah   ini    dikaitkan    dengan pengalaman-pengalaman  yang  dialami  Nabi Ibrahim as. Bersama keluarga beliau.  Ibrahim  as.  dikenal  sebagai  “Bapak  para Nabi”,  juga  “Bapak monotheisme,” serta “proklamator keadilan Ilahi” kepada beliaulah merujuk  agama-agama  samawi  terbesar selama ini.

Para  ilmuwan  seringkali  berbicara tentang penemuan-penemuan manusia yang mempengaruhi atau bahkan merubah jalannya sejarah kemanusiaan. Tapi seperti tulis al-Akkad,

“Penemuan  yang  dikaitkan  dengan  Nabi Ibrahim as. Merupakan penemuan manusia yang terbesar dan yang  tak  dapat  diabaikan para  ilmuwan atau sejarawan, ia tak dapat dibandingkan dengan penemuan roda, api, listrik, atau rahasia-rahasia atom  betapa pun besarnya pengaruh penemuan-penemuan tersebut, … yang itu dikuasai manusia, sedangkan penemuan  Ibrahim  menguasai  jiwa dan  raga  manusia.  Penemuan  Ibrahim menjadikan manusia yang tadinya tunduk pada alam, menjadi mampu menguasai alam,  serta menilai  baik  buruknya, penemuan yang itu dapat menjadikannya berlaku  sewenang-wenang,  tapi  kesewenang-wenangan  ini  tak mungkin  dilakukannya  selama  penemuan  Ibrahim as. itu tetap menghiasi jiwanya … penemuan tersebut berkaitan  dengan  apa yang   diketahui   dan   tak  diketahuinya,  berkaitan  dengan kedudukannya sebagai makhluk dan hubungan makhluk  ini  dengan Tuhan, alam raya dan makhluk-makhluk sesamanya …”

“Kepastian” yang dibutuhkan ilmuwan menyangkut hukum-hukum dan tata kerja alam ini, tak dapat  diperolehnya  kecuali  melalui keyakinan  tentang  ajaran  Bapak  monotheisme itu, karena apa yang dapat menjamin kepastian tersebut jika sekali  Tuhan  ini yang  mengaturnya  dan di lain kali tuhan itu? Dengan demikian monoteisme Ibrahim as. bukan sekedar  hakikat  keagamaan  yang besar,  tapi  sekaligus penunjang akal ilmiah manusia sehingga lebih tepat, lebih  teliti  lagi,  lebih  meyakinkan.  Apalagi Tuhan yang diperkenalkan Ibrahim as. bukan sekedar tuhan suku, bangsa  atau  golongan  tertentu  manusia,  tapi  Tuhan   seru sekalian  alam,  Tuhan  yang imanen sekaligus transenden, yang dekat  dengan   manusia,   menyertai   mereka   semua   secara keseluruhan  dan  orang per orang, sendirian atau ketika dalam kelompok, pada saat diam atau bergerak, tidur atau jaga,  pada saat  kehidupannya,  bahkan  sebelum dan sesudah kehidupan dan kematiannya.  Bukannya  Tuhan   yang   sifat-sifat-Nya   hanya monopoli  pengetahuan para pemuka agama, atau yang hanya dapat dihubungi  mereka,  tapi  Tuhan  manusia   seluruhuya   secara universal.

Ajaran   Ibrahim   as.   atau  “penemuan”  beliau  benar-benar merupakan suatu lembaran baru dalam  sejarah  kepercayaan  dan bagi  kemanusiaan,  walaupun  tauhid  bukan  sesuatu  yang tak dikenal sebelum masa beliau,  demikian  pula  keadilan  Tuhan, serta pengabdian pada yang hak dan transenden. Namun itu semua sampai  masa  Ibrahim  bukan  merupakan  ajaran  kenabian  dan risalah  seluruh umat manusia. Di Mesir 5.000 tahun lalu telah dikumandangkan ajaran keesaan Tuhan,  serta  persamaan  antara sesama  manusia,  tapi  itu  merupakan  dekrit dari singgasana kekuasaan  yang  kemudian  dibatalkan  oleh  dekrit   penguasa sesudahnya.

Ibrahim    datang   mengumandangkan   keadilan   Ilahi,   yang mempersamakan semua manusia dihadapan-Nya, sehingga betapa pun kuatnya  seseorang.  Ia  tetap  sama  di  hadapan Tuhan dengan seseorang yang paling lemah sekali  pun,  karena  kekuatan  si kuat  diperoleh  dari  pada-Nya,  sedangkan kelemahan si lemah adalah atas hikmah kebijaksanaan-Nya. Dia dapat mencabut  atau menganugerahkan  kekuatan  itu  pada  siapa saja sesuai dengan sunnah-sunnah yang ditetapkan-Nya.

Ibrahim hadir di pentas kehidupan pada suatu masa persimpangan menyangkut  pandangan  tentang manusia dan kemanusiaan, antara  kebolehan memberi sesajen  yang  dikorbankan  berupa  manusia, atau  ketidakbolehannya  dengan  alasan  bahwa  manusia adalah makhluk yang sangat mulia, melalui Ibrahim as. secara  amaliah dan  tegas  larangan  tersebut dilakukan, bukan karena manusia terlalu tinggi nilainya sehingga tak wajar  untuk  dikorbankan atau  berkorban,  tapi  karena  Tuhan  Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.   Putranya   Ismail   diperintahkan   Tuhan   untuk dikorbankan,  sebagai  pertanda bahwa apa pun –bila panggilan telah tiba wajar untuk dikorbankan demi karena Allah.  Setelah perintah  tersebut  dilaksanakan  sepenuh  hati  oleh ayah dan anak, Tuhan  dengan  kekuasaan-Nya  menghalangi  penyembelihan tersebut  dan  menggantikannya  dengan  domba sebagai pertanda bahwa hanya karena kasih sayang-Nya pada manusia, maka praktek pengorbanan semacam itu pun tak diperkenankan.

Ibrahim menemukan dan membina keyakinannya melalui pencaharian dan pengalaman-pengalaman kerohanian yang dilaluinya  dan  hal ini  secara  agamis  atau  Qur`ani  terbukti  bukan saja dalam penemuannya  tentang  keesaan  Tuhan   seru   sekalian   alam, sebagaimana diuraikan dalam QS. al-An`am 6:75, tapi juga dalam keyakinan tentang hari kebangkitan. (Menarik  untuk  diketahui bahwa  beliaulah  satu-satunya  Nabi  yang  disebut  al-Qur`anmeminta  pada  Tuhan  untuk  diperlihatkan  bagaimana  caranya menghidupkan  yang  mati, dan permintaan beliau itu dikabulkan Tuhan, lihat, QS. al-Baqarah 2:260).

Demikian  sebagian  kecil  dari  keistimewaan  Nabi   Ibrahim, sehingga  wajar jika beliau dijadikan teladan seluruh manusia, seperti   ditegaskan   al-Qur`an   surah   al-Baqarah   2:127. Keteladanan  tersebut  antara  lain  diwujudkan  dalam  bentuk ibadah haji dengan  berkunjung  ke  Makkah,  karena  beliaulah bersama    putranya    Ismail    yang    membangun   (kembali)
fondasi-fondasi Ka`bah  (QS.  al-Baqarah  2:127),  dan  beliau pulalah yang diperintahkan untuk mengumandangkan syari`at haji (QS. al-Haj 22:27). Keteladanan yang diwujudkan  dalam  bentuk ibadah  tersebut  dan yang praktek-praktek ritualnya berkaitan dengan  peristiwa  yang  beliau  dan  keluarga   alami,   pada hakikataya  merupakan  penegasan  kembali  dari  setiap jamaah haji, tentang keterikatannya dengan prinsip-prinsip  keyakinan yang dianut Ibrahim, yang intinya adalah,

  1. Pengakuan Keesaan Tuhan, serta penolakan terhadap segala macam dan bentuk kemusyrikan baik berupa patung-patung, bintang, bulan dan matahari bahkan segala sesuatu selain dari Allah swt.
  2. Keyakinan tentang adanya neraca keadilan Tuhan dalam kehidupan ini, yang puncaknya akan diperoleh setiap makhluk pada hari kebangkitan kelak.
  3. Keyakinan tentang kemanusiaan yang bersifat universal, tiada perbedaan dalam kemanusiaan seseorang dengan lainnya, betapa pun terdapat perbedaan antar mereka dalam hal-hal lainnya.


Ketiga  inti  ajaran   ini   tercermin   dengan   jelas   atau dilambangkan  dalam  praktek-praktek ibadah haji ajaran Islam. Tulisan  ini  akan  menitikberatkan  uraian  menyangkut  butir ketiga,  walau  pun  disadari, keyakinan tentang keesaan Tuhan dan ketundukan semua makhluk di bawah  pengawasan,  pengaturan dan pemeliharaan-Nya, mengantar makhluk ini, khususnya manusia menyadari bahwa mereka semua sama dalam ketundukan pada Tuhan, manusia  dalam  pandangan al-Qur`an, sama dari segi ini dengan makhluk-makhluk  lain,  karena  walau  pun  manusia   memiliki kemampuan  menggunakan  makhluk-makhluk  lain, namun kemampuan
tersebut bukan bersumber dari dirinya, tapi akibat  penundukan Tuhan dan karena itu ia tak dibenarkan berlaku sewenang-wenang terhadapnya, tapi berkewajiban bersikap bersahabat dengannya.

Keyakinan akan keesaan  Tuhan  juga  mengantar  manusia  untuk menyadari,  bahwa semua manusia dalam kedudukan yang sama dari segi nilai kemanusiaan, karena  semua  mereka  diciptakan  dan berada  di  bawah  kekuasaan  Allah  swt.  QS.  al-Hujurat  13 menunjukkan betapa erat kaitan antara keyakinan  akan  keesaan Tuhan dengan persamaan nilai kemanusiaan.

Ibadah  haji  dikumandangkan  Ibrahim  as.  sekitar 3600 tahun lalu. Sesudah masa  beliau,  praktek-prakteknya  sedikit  atau banyak  telah  mengalami  perubahan, namun kemudian diluruskan kembali oleh Muhammad saw. Salah satu hal yang diluruskan itu, adalah  praktek  ritual  yang  bertentangan dengan penghayatan nilai universal kemanusiaan haji. Al-Qur`an  Surah  al-Baqarah 2:199,  menegur  sekelompok  manusia (yang dikenal dengan nama al-Hummas) yang merasa  diri  memiliki  keistimewaan  sehingga enggan  bersatu  dengan  orang  banyak  dalam melakukan wuquf. Mereka wukuf di Mudzdalifah sedang  orang  banyak  di  Arafah. Pemisahan  diri  yang  dilatarbelakangi  perasaan superioritas dicegah oleh al-Qur`an  dan  turunlah  ayat  tersebut  diatas.

“Bertolaklah  kamu  dari tempat bertolaknya orang-orang banyak dan  mohonlah  ampun  kepada  Allah  sesungguhnya  Allah  Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Tak jelas apakah praktek bergandengan tangan saat melaksanakan thawaf pada awal periode sejarah Islam, bersumber dari  ajaran Ibrahim   dalam   rangka   mempererat  persaudaraan  dan  rasa persamaan. Namun yang pasti  Nabi  saw  membatalkannya,  bukan dengan tujuan membatalkan persaudaraan dan persamaan itu, tapi karena alasan-alasan praktis pelaksanaan thawaf.

Salah satu bukti yang jelas tentang  keterkaitan  ibadah  haji dengan  nilai-nilai  kemanusiaan  adalah  isi khutbah Nabi saw pada haji wada` (haji  perpisahan)  yang  intinya  menekankan: Persamaan;  keharusan  memelihara  jiwa,  harta dan kehormatan orang lain; dan larangan melakukan penindasan  atau  pemerasanterhadap kaum lemah baik di bidang ekonomi maupun fisik.

Pengamalan Nilai-nilai Kemanusiaan Universal

Makna  kemanusiaan  dan  pengalaman  nilai-nilainya  tak hanya terbatas pada persamaan nilai antar perseorangan  dengan  yang lain, tapi mengandung makna yang jauh lebih dalam dari sekedar persamaan tersebut. Ia mencakup seperangkat nilai-nilai  luhur yang   seharusnya  menghiasi  jiwa  pemiliknya.  Bermula  dari kesadaran  akan  fitrah  atau  jati  dirinya  serta  keharusan menyesuaikan  diri dengan tujuan kehadiran di pentas bumi ini. Kemanusiaan mengantar putra-putri  Adam  menyadari  arah  yang dituju  serta  perjuangan  mencapainya. Kemanusiaan menjadikan makhluk  ini  memiliki  moral  serta   berkemampuan   memimpin makhluk-makhluk  lain  mencapai tujuan penciptaan. Kemanusiaan mengantarnya menyadari bahwa ia  adalah  makhluk  dwi  dimensi yang harus melanjutkan evolusinya hingga mencapai titik akhir. Kemanusiaan mengantarnya sadar bahwa ia adalah makhluk  sosial yang  tak  dapat  hidup  sendirian  dan harus bertenggang rasa dalam berinteraksi.

Makna-makna tersebut  dipraktekkan  dalam  pelaksanaan  ibadah haji,  dalam  acara-acara  ritual,  atau  dalam  tuntunan  non ritualnya, dalam bentuk kewajiban atau larangan, dalam  bentuk nyata  atau  simbolik  dan  kesemuanya pada akhirnya mengantar jemaah haji hidup dengan pengamalan dan pengalaman kemanusiaan universal. Berikut ini dikemukakan secara sepintas beberapa di antaranya.

Pertama, ibadah haji dimulai dengan niat  sambil  menanggalkan pakaian   biasa   dan  mengenakan  pakaian  ihram.  Tak  dapat disangkal bahwa pakaian menurut kenyataannya dan juga  menurut al-Qur`an  berfungsi  sebagai  pembeda  antara  seseorang atau sekelompok dengan lainnya. Pembedaan tersebut dapat  mengantar kepada  perbedaan status sosial, ekonomi atau profesi. Pakaian juga dapat memberi pengaruh  psikologis  pada  pemakainya.  Di Miqat  Makany  di  tempat  dimana  ritual ibadah haji dimulai, perbedaan dan pembedaan  tersebut  harus  ditanggalkan.  Semua harus  memakai pakaian yang sama. Pengaruh-pengaruh psikologisdari pakaian harus ditanggalkan,  hingga  semua  merasa  dalam satu  kesatuan  dan  persamaan.  “Di Miqat ini ada pun ras dan sukumu lepaskan semua pakaian yang engkau kenakan  sehari-hari sebagai serigala (yang melambangkan kekejaman dan penindasan), tikus (yang melambangkan kelicikan), anjing (yang melambangkan tipu   daya),  atau  domba  (yang  melambangkan  penghambaan). Tinggalkan semua itu di Miqat dan berperanlah sebagai  manusia yang sesungguhnya.

Di   Miqat   dengan  mengenakan  dua  helai  pakaian  berwarna putih-putih, sebagaimana yang akan membalut tubuhnya ketika ia mengakhiri   perjalanan  hidup  di  dunia  ini,  seorang  yang melaksanakan ibadah  haji  akan  atau  seharusnya  dipengaruhi jiwanya  oleh  pakaian  ini. Seharusnya ia merasakan kelemahan dan  keterbatasannya,  serta  pertanggungjawaban   yang   akan ditunaikannya  kelak  di  hadapan  Tuhan Yang Maha Kuasa. Yang disisi-Nya tiada perbedaan antara seseorang dengan yang  lain, kecuali atas dasar pengabdian kepada-Nya.

Kedua,   dengan  dikenakannya  pakaian  ihram,  maka  sejumlah larangan harus diindahkan oleh  pelaku  ibadah  haji.  Seperti jangan menyakiti binatang, jangan membunuh, jangan menumpahkan darah, jangan  mencabut  pepohonan.  Mengapa?  Karena  manusia berfungsi memelihara makhluk-makhluk Tuhan itu, dan memberinya kesempatan  seluas  mungkin  mencapai  tujuan   penciptaannya. Dilarang  juga menggunakan wangi-wangian, bercumbu atau kawin, dan berhias supaya setiap haji menyadari bahwa  manusia  bukan hanya  materi  semata-mata  bukan  pula  birahi.  Hiasan  yang dinilai Tuhan adalah hiasan rohani. Dilarang pula  menggunting rambut,  kuku, supaya masing-masing menyadari jati dirinya dan menghadap pada Tuhan sebagaimana apa adanya.

Ketiga, Ka`bah yang dikunjungi mengandung pelajaran yang  amat berharga  dari  segi  kemanusiaan.  Di  sana misalnya ada Hijr Ismail yang arti harfiahnya pangkuan Ismail. Di sanalah Ismail putra  Ibrahim,  pembangun  Ka`bah  ini  pernah  berada  dalan pangkuan Ibunya yang  bernama  Hajar,  seorang  wanita  hitam, miskin  bahkan budak, yang konon kuburannya pun di tempat itu, namun demikian budak wanita ini ditempatkan Tuhan di sana atau peninggalannya diabadikan Tuhan, untuk menjadi pelajaran bahwa Allah swt  memberi  kedudukan  untuk  seseorang  bukan  karena keturunan  atau  status  sosialnya,  tapi  karena kedekatannya kepada  Allah  swt  dan  usahanya  untuk  menjadi  hajar  atau berhijrah dari kejahatan menuju kebaikan, dari keterbelakangan menuju peradaban.

Keempat, setelah  selesai  melakukan  thawaf  yang  menjadikan pelakunya  larut  dan  berbaur  bersama  manusia-manusia lain, serta memberi kesan kebersamaan menuju satu tujuan  yang  sama yakni  berada dalam lingkungan Allah swt dilakukanlah sa`i. Di sini  muncul  lagi  Hajar,   budak   wanita   bersahaja   yang diperistrikan  Nabi  Ibrahim  itu,  diperagakan  pengalamannya mencari  air  untuk  putranya.  Keyakinan  wanita   ini   akan kebesaran  dan  kemahakuasaan Allah sedemikian kokoh, terbukti jauh sebelum peristiwa pencaharian  ini,  ketika  ia  bersedia ditinggal  (Ibrahim)  bersama  anaknya  di  suatu  lembah yang tandus,  keyakinannya  yang  begitu  dalam  tak  menjadikannya samasekali  berpangku  tangan  menunggu  turunnya  hujan  dari langit,   tapi   ia   berusaha   dan   berusaha   berkali-kali mondar-mandir  demi  mencari kehidupan. Hajar memulai usahanya dari bukit Shafa yang arti  harfiahnya  adalah  “kesucian  dan ketegaran”  –sebagai  lambang  bahwa  mencapai kehidupan harus  dengan  usaha  yang   dimulai   dengan   kesucian   dan ketegaran–   dan  berakhir  di  Marwah  yang  berarti  “ideal manusia, sikap menghargai, bermurah hati dan  memaafkan  orang lain”.

Adakah  makna  yang  lebih  agung  berkaitan dengan pengamalan kemanusiaan   dalam   mencari   kehidupan   duniawi   melebihi makna-makna   yang   digambarkan   di   atas?   Kalau   thawaf menggambarkan larutnya dan meleburnya  manusia  dalam  hadirat Ilahi,  atau  dalam  istilah  kaum sufi al-fana` fi Allah maka sa`i menggambarkan usaha  manusia  mencari  hidup  –yang  ini dilakukan  begitu  selesai  thawaf–  yang  melambangkan bahwa kehidupan dunia  dan  akhirat  merupakan  suatu  kesatuan  dan keterpaduan.  Maka  dengan  thawaf  disadarilah  tujuan  hidup manusia.   Setengah   kesadaran   itu   dimulai   sa`i    yang menggambarkan,   tugas   manusia  adalah  berupaya  semaksimal mungkin.  Hasil  usaha  pasti  akan  diperoleh  baik   melalui usahanya  maupun  melalui anugerah Tuhan, seperti yang dialami Hajar bersama putranya Ismail dengan ditemukannya  air  Zamzam itu.

Kelima,  di  Arafah, padang yang luas lagi gersang itu seluruh jamaah  wuquf  (berhenti)  sampai  terbenamnya  matahari.   Di sanalah   mereka  seharusnya  menemukan  ma`rifat  pengetahuan
sejati tentang jati dirinya, akhir perjalanan hidupnya,  serta di  sana  pula  ia  menyadari  langkah-langkahnya  selama ini, sebagaimana ia menyadari pula betapa  besar  dan  agung  Tuhan yang   kepadaNya   bersimpuh   seluruh   makhluk,  sebagaimana diperagakan    secara    miniatur    di    padang    tersebut. Kesadaran-kesadaran  itulah  yang  mengantarkannya  di  padang Arafah  untuk  menjadi  arif  atau  sadar  dan   mengetahui. Kearifan  apabila  telah  menghias  seseorang, maka Anda akan, menurut Ibnu  Sina,  “Selalu  gembira,  senyum,  betapa  tidak senang  hatinya  telah  gembira  sejak ia mengenal-Nya, … di mana-mana ia melihat satu saja, …  melihat  Yang  Maha  Suci itu,  semua  makhluk  di  pandangnya sama (karena memang semua sama, … sama membutuhkan-Nya). Ia tak akan mengintip-ngintip kelemahan  atau  mencari-cari  kesalahan  orang, ia tidak akan cepat tersinggung walau melihat yang mungkar sekalipun  karena jiwanya selalu diliputi rahmat dan kasih sayang.

Keenam,  dari  Arafah  para jamaah ke Mudzdalifah mengumpulkan senjata  menghadapi  musuh   utama   yaitu   setan,   kemudian melanjutkan perjalanan ke Mina dan di sanalah para Jamaah haji melampiaskan  kebencian  dan  kemarahan  mereka  masing-masing terhadap   musuh  yang  selama  ini  menjadi  penyebab  segala kegetiran yang dialaminya.

Demikianlah ibadah haji merupakan kumpulan simbol-simbol  yang sangat  indah,  apabila dihayati dan diamalkan secara baik dan benar, maka pasti akan  mengantarkan  setiap  pelakunya  dalam lingkungan  kemanusiaan  yang  benar  sebagaimana  dikehendaki Allah.

Irma Susanti

Leave a Comment